Jakarta – Bank Dunia mengimbau Cina dan G20 sebagai kreditor terbesar ikut berpartisipasi penuh dalam upaya pengurangan utang dengan memberikan keringanan pada negara-negara berkembang termiskin.
Resesi yang disebabkan oleh pandemi corona pada 2020 dan 2021 membuat sekitar 60 persen negara berpenghasilan rendah mengalami kesulitan utang, kata Presiden Bank Dunia David Malpass kepada wartawan saat meluncurkan laporan Global Economic Prospects, Selasa, 11 Januari 2022.
Utang negara berkembang meningkat pada laju tercepat dalam tiga dekade, kata laporan itu, sementara pertumbuhan di negara berpenghasilan rendah diproyeksikan menguat pada 2022 menjadi 4,9% dan pada 2023 menjadi 5,9%.
Pada 2022, negara-negara termiskin menghadapi kewajiban cicilan utang $35 miliar kepada kreditur bilateral dan swasta, yang lebih dari 40 persennya adalah Cina, setelah pembekuan pembayaran utang berakhir tahun lalu, kata Malpass.
“Risiko default yang tidak teratur tumbuh; pengetatan kebijakan moneter di negara maju akan memiliki efek riak,” katanya, mengulangi seruannya untuk reformasi kerangka umum yang diluncurkan oleh Kelompok G20 dan Paris Club pada November 2020.
Kerangka kerja ini bertujuan untuk memberikan keringanan utang terutama melalui perpanjangan jatuh tempo dan pengurangan suku bunga bagi negara-negara yang memenuhi syarat untuk moratorium pembayaran di bawah Inisiatif Penangguhan Layanan Utang (DSSI), tetapi kemajuannya lamban.
“Pengurangan utang yang dalam sangat dibutuhkan untuk negara-negara miskin. Jika kita menunggu terlalu lama, itu akan terlambat,” kata Malpass, menyerukan diakhirinya perjanjian kerahasiaan yang sering diminta oleh Cina dan kreditur lainnya, serta aturan yang jelas. untuk menilai dan menegakkan perlakuan sebanding di antara semua kreditur.
Berikutnya: Bank Dunia Puji Indonesia.